Sunday 17 February 2008

KEKUATAN CITA-CITA: PAK PARMO DAN HAJI RAMLI

Sebuah kisah yang sangat inspiratif tentang cita-cita


Di sebuah sudut kota, di rumah kontrakan kecil, tinggallah sebuah keluarga sederhana. Pak Parmo berusia 30 tahun hidup bersama seorang istri dan satu anak. Dengan profesi sebagai tukang bakso Pak Parmo bekerja keras dan gigih untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit rizki yang diberikan Allah. Setiap hari ia mendorong gerobag baksonya tanpa mengeluh. Dengan penghasilan pas-pasan ia disiplin dalam mengelola uangnya. Sebagian untuk menafkahi istri, biaya anak sekolah dan lain-lain, dan sebagian lagi ditabung, dan sesekali masih bisa menyempatkan infak di Masjid. Dia memang seorang yang berhati-hati dalam mengelola uang.


Setiap hari, mulai pukul 06 pagi dia sudah siap berdiri di tepi jalan di depan sebuah minimarket dekat rumah kontrakannya. Untuk membeli daging bahan bakso dia harus datang lebih awal agar bisa leluasa memilih daging segar. Namun angkot yang datang sering sudah penuh dan nggak kebagian tempat. Jika sudah demikian biasanya Dia mendapatkan daging yang kurang bagus, atau Dia harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan daging yang bagus. Seandainya saya punya sepeda motor, mungkin bisa lebih mudah, begitu pikirnya. Dia memang sudah lama mengidam-idamkan sepeda motor, disamping untuk memudahkan operasional bisnisnya juga untuk keperluan keluarga. Untuk itu dengan sabar telah mengumpulkan tabungan sedikit-demi sedikit.

Suatu hari ia merasa tabungannya sudah cukup dan membukanya,

“Alhamdulillah, ahirnya terkumpul juga”, pikir pak Parmo.

Tabungannya yang sudah ditekuni sejak lima tahun lalu terkumpul sebanyak empat setengah juta. Dia begitu bahagia melihat tabungannya yang sudah begitu banyak.
Dari bibirnya terbisik lirih:

“Ya Allah ahirnya Kau kabulkan juga cita-citaku, sungguh Engkau maha pengasih dan maha penyayang".

Ahirnya Pak Parmo pergi ke toko motor bekas dan dibelinyalah sebuah sepeda motor Hoda Astrea tahun 99 seharga empat setengah juta.

Sejak saat itu kemana-mana Pak Parmo bisa naik sepeda motor, ia begitu bersyukur karenanya. Bakso Pak Parmo makin laris dan lancar saja. Seiring dengan bertambahnya pengalaman dia menjadi makin pintar cara berdagang dan meningkatkan efisiensi, ia memang tukang bakso jempolan. Setiap bulan Dia makin bersemangat untuk menyisihkan penghasilannya untuk ditabung.

Cita-cita pak Parmo berikutnya adalah membangun rumah kecil agar tidak lagi membayar kontrakan setiap tahun. Dengan ketekunannya, dalam tiga tahun berikutnya ia telah berhasil mengumpulkan tabungannya hingga 10 juta. Dengan uang sepuluh juta itu dibayarlah uang muka rumah sangat sederhana tipe 21 di pinggiran kota tersebut seharga 50 juta. Lalu 40 juta sisanya ia angsur dalam waktu 12 tahun. Pendek cerita kehidupan pak Parmo bahagia dengan sebuah rumah mungil dan sepeda motor bekas yang masih tergolong lumayan. Begitulah keadaan pak Parmo dalam menekuni hidupnya dengan penuh syukur. Beliau dikaruniai hidup dalam kebahagiaan dan hampir setiap cita-cita yang ditekuninya berhasil. Ia dikaruniai dua orang anak, keduanya telah lulus SMA dan menikah, mereka semua hidup bahagia.


Di sisi lain tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pemuda bernama Ramli. Seperti Pak Parmo, Ramli juga seorang yang gigih. Dia tidak mau dibilang pemalas dikampungnya, dia bahkan punya obsesi yang jauh kedepan.

"Saya harus pergi ke kota dan akan pulang dengan kesuksesan. Saya akan menjadi orang yang bermanfaat untuk orang banyak".

Begitulah prinsip hidupnya.

Maka selepas SMA dia langsung lari ke kota dan ikut dengan seorang penjual mie ayam. Ramli ini pintar bergaul dan cepat belajar serta pekerja keras. Dalam waktu hanya dua tahun ia telah berhasil meyakinkan majikannya bahwa ia memang pekerja yang hebat. Di tangannya warung Mie Ayam itu laris dan majikannya merasa bahwa Ramli punya andil besar dalam hal ini. Sehingga ketika majikannya buka cabang, Ramlilah yang dipercaya untuk mengelola warung mie yang baru tersebut. Ramli tidak ingin menyia-nyiakan amanah ini. Dengan amanah ini Ramli disamping menerima gaji bulanan seperti sebelumnya, ia juga berhak atas bonus 10% dari hasil penjualan jika omsetnya mencapai 6 juta sebulan. Dengan ketrampilannya membuat mie, hasil didikan majikannya itu, ditambah dengan pintarnya melayani pelanggan, dalam waktu yang sangat singkat omset warung Mie Ayam Ramli bisa menyaingi warung majikannya. Setiap bulan omsetnya selalu di atas 6 juta bahkan sering di atas 8 juta. Berarti ia berhak atas bonus 800 ribu rupiah belum termasuk gaji tetap 400 ribu perbulan. Sehingga rata-rata penerimaan gajinya sekitar Rp. 1.200.000 perbulan. Adalah gaji yang cukup besar bagi seorang anak lulusan SMA dengan masa kerja dua tahun.

Ramli memang termasuk anak yang tidak mau berhenti belajar, cita-citanya tinggi. Ia harus menjadi orang sukses dan berguna bagi orang banyak. Dengan gajinya tersebut ia ingin melanjutkan kuliah sore di sebuah sekolah swasta mengambil jurusan Manajemen Perusahaan, sambil tetap jualan mie ayam. Tentu saja ia harus menambah tenaga ekstra. Dasar pekerja keras, itu semua dilakukan dengan penuh suka cita. Prestasinya di kuliah memang pas-pasan namun ia bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu dalam 4 tahun. Ramli muda yang berusia 26 tahun ini telah menjadi Sarjana, Sarjana Ekonomi. Dengan predikat baru itu ia tidak lalu menjadi sombong, anak ini tetap seperti biasa yang rendah hati dan pandai mengambil hati majikannya. Dengan kemampuan barunya dalam bidang manajemen ini ia semakin menunjukkan mantapnya pengelolaan perusahaannya. Dua warung mie itu kemudian dibuatkan olehnya akuntansi yang baik, sehingga bisa menekan biaya-niaya yang tidak perlu, dan pada gilirannya menaikkan keuntungan. Serta trik-trik menarik pelanggan, dan langkah-langkah manajemen lainnya. Makin percayalah majikan itu dengannya.

Tidak cukup sampai di situ, dasar Ramli ini memang cerdik, ada saja idenya. Kali ini Ramli mempunyai ide gila, ia jeli sekali melihat kegemaran majikannya yang sangat suka dengan berkebun bunga. Ia melihat setiap hari Bossnya makin gila dengan tanaman. Diambilnya kesempatan ini, ia mengajukan usulan pada bossnya:

”Boss, kayaknya hobi Boss ini bisa jadi duit lho”, kata Ramli kepada Bossnya pada suatu sore di kebun rumah Bossnya yang indah penuh bunga-bunga mahal.

”Apa maksudmu Ramli?” kata Bossnya.

”Boss jangan melulu hobi tapi jadikanlah hobi yang menghasilkan uang”, sahut Ramli.

Ramli begitu yakin karena ia tahu bossnya makin gila dengan tanaman.

”Begitu ya, tapi saya kan masih jaga warung Ramli”, kata majikannya.

”Begini Boss, kalau Boss mau serahkan kedua warung mie itu kepada saya. Akan saya kelola dan Boss tetap mendapatkan penghasilan sejumlah yang Boss terima setiap bulannya”. Ramli memang pandai meyakinkan Bossnya.

Ia tahu penghasilan Bossnya setiap bulan bersih kira-kira 7 juta rupiah. Dan itu bukan perkara sulit bagi Ramli untuk setoran setiap bulannya dengan kedua warung mie itu. Ahirnya bossnya setuju dan menekuni bisnis baru, sedangkan kedua warung mie tersebut diserahkan sepenuhnya dalam pengelolaan Ramli. Jadilah sekarang Ramli seorang direktur dua warung mie.

Dipilihnya seorang karyawan yang paling handal kemudian diangkatlah dia menggantikan dirinya di warung cabang. Sedangkan Ramli pindah menunggui warung mie pusat menggantikan majikannya.

Dalam pengelolaannya warung mie itu menjadi maju pesat dan setahun kemudian dibukalah cabang yang ke dua. Penghasilan Ramli makin besar dan tabungannya makin mantap. Muncullah cita-cita ia yang baru, lebih gila lagi. Obsesinya kali ini bahkan dia harus bisa ikut memiliki warung mie ini, dengan demikian dia bukan hanya pengelola tapi sekaligus pemilik.

Dengan tabungan yang ia miliki ia tawarkan kepada majikannya untuk mendirikan cabang baru lagi yang ketiga, namun dengan modal andil dari Ramli, dan bossnya tetap mendapatkan sharing dari cabang yang baru tersebut. Tawaran tersebut diterima dan berdirilah cabang yang ke tiga. Ramli muda yang hebat dan dengan keberaniannya bercita-cita, dalam usia 28 tahun ia telah menjadi pengelola 4 warung mie dan satu di antaranya adalah miliknya sendiri.

Pendek cerita ahirnya Ramli menikah dalam usia 28 tahun dengan gadis kota yang cantik dan terpelajar. Kemudian dalam usia 40 tahun ia telah berhasil membuka banyak cabang dalam bentuk franchais “MIE RAMLI”. 17 cabang telah dibukanya yang tersebar di 5 kota besar di Indonesia.

Dalam kondisi seperti itu ia tidak lupa untuk tetap rajin beribadah pada Tuhannya. Ia rajin berjamaah ke masjid, infaknya besar, bahkan ia terkenal dengan sebutan Haji Ramli yang dermawan. Puteranya empat, yang pertama kuliah di Madinah, yang kedua di Jerman, yang ketiga dan ke empat di SMA paling favorit di kota itu.

Ramli punya cita-cita akan pensiun di kampung dan mendirikan pesantren modern di kampungnya. Pesantren yang bisa membekali setiap santrinya dengan ilmu entrepreneur modern. Ahirnya dalam usia 50 tahun ia berhenti menjadi direktur Mie RAMLI dengan kepemilikan saham 65%. Dia pensiun dan pulang kampung dengan membangun sebuah pesantren seperti yang dicita-citakannya. Ia memang berani bercita-cita, rajin beribadah dan berdoa. Dia gigih dalam bekerja dan dia telah membuktikan cita-citanya

“Menjadi orang sukses dan berguna bagi orang banyak”.

Cita-cita Adalah Sebuah Pilihan Jalan Hidup

Kedua ilustrasi di atas sama indahnya, Pak Parmo dan Haji Ramli keduanya adalah tokoh yang gigih bekerja, rajin beribadah dan rajin berdoa. Menjadi contoh dalam masarakat. Sama-sama dari desa, keduanya mendapatkan karunia hidup dalam kebahagiaan, subhanallah.

Namun ada yang berbeda para pembaca:
- Pak Parmo hidupnya tetap sebagai tukang bakso sampai tua, sedangkan haji Ramli pensiun dengan kepemilikan saham 65% di perusahaan MIE RAMLI yang cabangnya 17 buah tersebar di 5 kota besar di Indonesia.
- Pak Parmo dikaruniai dua orang anak, keduanya lulus SMA dan telah menikah. Sedangkan haji Ramli dikaruniai 4 anak, dua di antaranya kuliah di luar negeri dan dua lainnya di SMA paling favorit di kota itu.
- Haji Ramli pensiun dan dengan penuh syukur mengelola Pesantren Modern sedangkan pak Parmo dengan penuh syukur menekuni jualan baksonya. Subhanallah.

Pelajaran penting dari kedua ilustrasi di atas adalah Pak Parmo dan Pak ramli sama-sama dari desa dengan latar pendidikan yang sama namun memiliki kondisi yang sangat berbeda di usia tuanya. Pak Parmo tidak berubah jauh dari kondisi sebelumnya, sedangkan pak Ramli telah jauh berbeda. Yang membedakan Pak Parmo dan Haji Ramli dalam sikapnya adalah cita-citanya atau keinginan-keinginannya. Haji Ramli memiliki keberanian dan cita-cita.

Para pembaca, saya tidak berani menilai, lebih mulia mana Haji Ramli atau pak Parmo. Lebih banyak mana amalnya, Allahu a’lam. Tetapi seandainya kita adalah orang desa yang hanya lulusan SMA, kemudian kita diminta memilih apakah ingin jadi pak Parmo atau Haji Ramli, anda pilih yang mana. Anda sendiri yang berhak menjawabnya. Saya tidak berani mengatakan harus pilih jadi Haji Ramli, karena dalam hidup ini cita-cita adalah pilihan kita sendiri.

Kalau saya pribadi sih pilih jadi Haji Ramli aja, he he....

Allahu a’lam.

3 comments:

  1. Very good story, Thanks Bro.
    Eddy Iskandar
    www.sukseskoe.com

    ReplyDelete
  2. Sama-masa Bro Is, sukses untuk anda

    ReplyDelete
  3. ass.wr.wb.
    salam sukses bapak!,
    saya sngat tertarik dg tulisan ini, hmpir sama
    dg saya tp sy msh umur 28thn, sy dr lulus smp tdnya mau msk pesantren, tp sy diajak ke jkt,jd lah sy skulah sma, stlh sy lulus sy pnya cita2 kul, karna blm pnya uang, sy berhenti dlu 1thn u/ cari uang tmbhan,stlh itu sy lulus kul dan sy pnya cita2 pnya rmh,stlh lulus kul 1thn kmudian '10 sy bs bli rmh, alhamdulillah, tip sy..sy sring dzikir 1000x dan slt mlm dlm jngka 10th dan s/d skarang....subhanallah...saat ini sy kdpannya pnya cita2 dua..cita-cita...mhn do'anya bapak...
    wss.wr.wb..

    ReplyDelete