Thursday 21 February 2008

Belenggu Dalam Membuat Cita-cita

Saya menyadari bahwa cita-cita adalah sebuah pilihan, dan saya ingin merubah nasib dari seperti yang saat ini menjadi yang jauh lebih baik. Tetapi, sering terbelenggu dengan kondisi yang saya miliki saat ini. Ketika mencoba membuat cita-cita yang jauh lebih tinggi secara sadar, pikiran bawah sadar sering mengontrol, dengan mengatasnamakan REALITA. Ya, realita sering membelenggu dalam membuat cita-cita.


Suatu hari saya ditanya anak saya yang kelas empat SD

”Pa... kalau papa diberi hadiah mobil dan disuruh memilih, papa mau mobil apa?”

Saya langsung mejawab "Stream, Honda Stream".

Ha ha ha .... Bentuknya yang indah, kapasitasnya cukup besar. OK, kembali ke pertanyaan. Pertanyaan ini benar-benar menggelitik saya untuk menelaah lebih jauh.

Mari kita ulangi pertanyaannya :

”Pa... kalau papa diberi hadiah mobil, papa mau mobil apa?”

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan tanpa syarat. Harusnya saya jawab Limosin saja, mengapa saya hanya menjawab Honda Stream. Bukankah itu pertanyaan tanpa syarat……

Manusia sering terbelenggu dengan latar belakang dan realita hidupnya. Begitu juga saya, tidak mau memilih Limosin karena takut dibilang serakah. Terlampau mewah dan saya tidak mau dibilang hedonisme, hubbud dunya atau terlalu mencintai harta. Saya juga tidak memilih Limosin karena takut tidak kuat biaya operasionalnya ......., serta  seribu alasan lainnya. Semua itu sebenarnya hanya mengukuhkan status saat ini. Jika saja saya memilih mobil yang termahal, Limosin misalnya, yang harganya 2 milyar, uangnya bisa dibelikan Stream dan sisanya dimanfaatkan untuk keperluan lain. Bisa untuk biaya sekolah anak di luar negeri, membangun masjid, madrasah, pemberdayaan ekonomi lemah, dan banyak sekali kebutuhan lainnya yang bisa kita selesaikan.

Sama, membuat cita-cita juga bebas memilih, kita boleh memilih jadi apa saja dengan cara melepaskan belenggu keadaan kita sekarang. Yang sering terjadi adalah berhitung dengan kalkulasi matematis dan logika saat ini. Maka jangkauan cita-cita jadi terbatas, hanya seputar kehidupan kita. maka tidak pernah berubah. Yang miskin tetap miskin karena keinginannya tidak jauh dari keadaannya kini. Keinginanlah yang membawa kita ke tempat yang berbeda dari tempat kita sekarang.

Satu kata yang terkesan bijak adalah “REALISTIS”. Hati-hati dengan kata itu. Membuat cita-cita boleh tidak realistis, selama kita tahu alasannya mengapa itu harus dicapai.

Para ustadh sering mengatakan, sungguh tidak pantas kita ini berharap surga. Terlalu banyak dosa-dosa yang telah kita lakukan, sedangkan amal kita terlalu sedikit. Hanya Rahmat Allahlah yang bisa menyelamatkan kita. Yaa….

Tepat sekali, hanya rahmat Allah.

Tidak realistis kalau kita hitung amal yang sangat sedikit dan dengan maksiat yang banyak lalu berharap surga, tapi toh kita tetap meminta, karena alasannya jelas yaitu

'tidak kuat di neraka'  dan Allah menjanjikan rahmat Allah sangat besar.

Cita-cita juga demikian, boleh tidak realistis kalau alasannya jelas, kita tinggal minta kepada Allah. Dan dengan rahmatNya kita bisa sampai kesana. Dengan cita-cita itu kita kemudian dituntun untuk mempunyai amal yang lebih banyak. Adapun ketika nanti cita-cita itu tidak tercapai, itu bukan urusan kita. Tugas kita adalah, punya niat, berdoa, berjuang dengan komitmen yg kuat dan tawakkal. Hanya dengan niatpun kita telah mendapat pahala.

Allah mengajarkan,
"Ketika kamu sudah menetapkan tekad maka bertawakkallah pada Allah"
"Barang siapa bertawakkal pada Allah, maka Dia(Allah)lah yang mencukupi kebutuhannya"

Allahu a’lam.

No comments:

Post a Comment